Pendidikan merupakan suatu hal yang tak dapat dipisahkan dari kita. Pendidikan telah kita jalani sejak kita lahir mulai dari pendidikan informal sebatas keluarga lalu seterusnya sampai masuk ke dalam pendidikan formal sekolah dasar, sekolah menengah pertama, sekolah menengah atas, dan kuliah. Jika kita membicarakan tentang pendidikan maka tidak dapat lepas dari seorang Ki Hajar Dewantara, beliau merupakan seorang pahlawan pendidikan yang mempunyai andil besar dalam membentuk sistem pendidikan hingga sampai pada era indonesia modern saat ini. Walaupun pada realita nya peninggalan yang di berikan oleh beliau tidak terlalu terimplementasikan dengan baik.
Pada masa awal-awal kemerdekaan
Indonesia, situasi politik belum stabil hingga menyebabkan terjadinya perubahan
pada kelembagaan pendidikan Indonesia. Pada awal kemerdekaan pemerintah
Republik Indonesia (RI) telah membentuk kementerian yang mengurus dunia
pendidikan disebut sebagai “Kementerian Pengajaran.” Ketika terjadi agresi
Belanda, Kementerian Pengajaran ditempatkan di Surakarta, pemindahan tersebut terjadi
pada Januari 1946. Pada waktu itu juga nama kementerian diubah menjadi
“Kementerian Pengajaran Pendidikan dan Kebudayaan” atau yang disingkat menjadi
Kementerian PP dan K (Sjamsudin, 1993: 9).
Lebih dari itu, ketika Belanda menyerang
pada Desember 1948, banyak kantor kementerian dipindahkan, termasuk Kementerian
PP dan K. Waktu itu organisasi kementerian berjalan sebagaimana mestinya dan
terkenal dengan sebutan “Kementerian Gerilya.” Ketika sudah pulih, maka pada
Juni 1949, Kementerian PP dan K dipindah lagi dari Surakarta ke Yogyakarrta dan
dibentuk tiga jawatan baru: Jawatan Inspeksi Pengajaran, Jawatan Pendidikan
Masyarakat, dan Jawatan Kebudayaan. Pada awal masa kemerdekaan itulah, dan juga
tahun-tahun menjelang proklamasi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945, seorang
tokoh pergerakan nasional dan pejuang pendidikan yang besar sekali perannya
adalah Ki Hadjar Dewantara.
Sekarang tanggal kelahirannya, 2 Mei diperingati sebagai hari Pendidikan
Nasional sebagai bentuk penghormatan dari pemerintah dan masyarakat Indonesia
kepada beliau yang telah begitu besar jasanya dalam meletakkan dasar pendidikan
nasional. Sumbangannya bagi Indonesia, terutama dalam dunia pendidikan adalah
hadirnya Perguruan Taman Siswa dengan substansi ideologis kebangsaan, keindonesiaan
dan kerakyatan. Gagasan dan pemikiran Ki Hadjar tentang pendidikan dan
kebudayaan sampai sekarang masih selalu dikaji dan dianggap relevan
diimplementasikan dalam sistem pendidikan nasional. Salah satunya adalah
prinsip Tut Wuri Handayani yang menjadi
semboyan resmi dari implementasi sistem pendidikan nasional.
Riwayat
Suwardi dan Taman Siswa
Nama kecilnya adalah Raden Mas Suwardi
Suryaningrat dan setelah dewasa ia mengganti namanya menjadi Ki Hadjar
Dewantara. Penggantian nama tersebut pun pada hakikatnya merupakan simbol
filosofi dan perjuangannya. Dari nama kecil sebagai bangsawan bergelar Raden,
kemudian ia memilih bergelar Ki yang merepresentasikan dirinya sebagai bagian
dari orang kebanyakan. Ki Hadjar adalah jenis bangsawan yang sadar dan rela
untuk menjadi sama dengan manusia lainnya. Dengan begitu, sejatinya dalam
sejarah pergantian namanya dari Raden menjadi Ki saja, sudah tersirat filosofi
anti-feodal dan anti-penjajahannya.
Suwardi lahir di Yogyakarta pada 2 Mei 1889. Tanggal itulah yang kelak di
kemudian hari dikenang dan ditetapkan sebagai hari pendidikan nasional oleh
pemerintah Indonesia. Ia berasal dari keluarga keraton, tepatnya Pura
Pakualaman, Yogyakarta. Suwardi merupakan cucu dari Sri Paku Alam III, ayahnya
bernama K.P.H. Suryaningrat. Dari pihak Ibu adalah Raden Ayu Sandiyah yang
merupakan keturunan Sunan Kalijaga. Ketika kecil Suwardi mendapatkan pendidikan
agama dari K.H. Abdurrahman, beliau seorang kyai dari Pesantren Kalasan.
Pendidikan formalnya ia dapatkan di Europeesche
Lagere School (ELS) yang menggunakan bahasa Belanda sebagai
pengantarnya. Setelah tamat Suwardi melanjutkan ke Kweekschool (sekolah guru Belanda)
selama satu tahun dan kemudian pindah ke School
tot Opleding voor Inlandsche Arsten (Stovia) di Jakarta dengan
beasiswa.
Namun sayang Suwardi tidak selesai dan terpaksa keluar karena sakit selama
empat bulan yang menjadikannya tidak naik kelas hingga beasiswanya dicabut.
Namun sebenarnya terdapat alasan politis dibalik pencabutan beasiswa tersebut,
yakni karena Suwardi membacakan sebuah sajak kepahlawanan Ali Basah Sentot
Prawirodirdjo (panglima perang Pangeran Diponegoro). Konon pagi harinya setelah
membacakan sajak tersebut, Suwardi dipanggil oleh Direktur Stovia dan dimarahi
habis-habisan. Ia dituduh membangkitkan semangat memberontak terhadap
pemerintah Hindia Belanda. Kemudian ia bekerja sebagai wartawan di beberapa
surat kabar waktu itu, antara lainSedya
Tama, Midden Java, De Express, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer,
dan Poesara. Selain itu ia juga
menerbitkan Goentoer Bergerak dan Hindia Bergerak.
Selain itu ia juga aktif di Budi Oetama pada 1908 dan mendapat tugas yang
cukup menantang di biro propaganda. Di situlah ia mencoba untuk mengobarkan
semangat dan kesadaran masyarakat akan pentingnya kesatuan dan persatuan
Indonesia. Pada 25 Desember 1912 ia mendirikan Indische
Partij sebagai partai politik pertama beraliran nasionalis di
Indonesia bersama dr. Douwes Dekker (Danudirja Setyabudhi) dan dr. Cipto
Mangunkusumo. Indische Partij menjadi
partai politik pertama berideologi nasionalis dengan tujuan tegas, yakni
Indonesia merdeka. Oleh karena itu pula, Indische
Partijkemudian ditolak menjadi badan hukum oleh pemerintah Belanda pada
11 Maret 1913 dengan alasan organisasi ini dapat membangkitkan nasionalisme
rakyat untuk menentang Belanda.
Pada tahun itu juga Suwardi mengkritik perayaan seratus tahun bebasnya
Belanda dari penjajahan Perancis pada November 1913. Ia mendirikan Komite
Bumiputera yang merupakan komite tandingan dari komite perayaan seratus tahun
kemerdekaan bangsa Belanda dari Perancis. Komite Bumiputera mengkritik perayaan
tersebut yang akan dirayakan secara besar-besaran dengan menarik uang dari
rakyat jajahannya. Kritikan Ki Hadjar tersebut dimuat di surat kabar milik
Douwes Dekker berjudul “Seandainya Aku Seorang Belanda” (Als ik Eens Nederlander Was).
Kontan saja hal itu membuat pemerintah Belanda berang pada Suwardi. Pemerintah
kolonial meminta bantuan Sri Paku Alam II dan K.P.H. Suryaningrat agar mereka
mendatangi Suwardi di Bandung untuk membujuknya agar tidak radikal. Namun
mereka berdua justru berpesan, “Ingatlah, seorang bangsawan tidak akan menelan
ludahnya sendiri.”
Gubernur Jenderal Idenburg kemudian menjatuhkan hukuman tanpa proses
pengadilan pada Suwardi berupa hukuman internering atau
pembuangan ke Pulau Bangka. Kedua sahabatnya, dr. Douwes Dekker dan dr. Cipto
Mangunkusumo pun turut dibuang karena membela Ki Hadjar. Dalam hukuman tersebut
mereka menginginkan untuk dibuang ke Negeri Belanda saja karena dianggap akan
lebih bermanfaat dengan mempelajari banyak hal ketimbang dibuang ke daerah
terpencil sebelumnya. Ternyata permintaan tersebut dikabulkan, dan mulai
Agustus 1913 mereka berada di Belanda sebagai pelaksanaan hukuman. Hal itu
tentu saja tidak disia-siakan oleh mereka, terutama Ki Hadjar dengan
memperdalam tentang pendidikan dan pengajaran, hingga berhasil mendapatkanEuropeesche Akte. Di negeri
Belanda, Suwardi juga bekerja sebagai jurnalis guru Taman Kanak-Kanak (Frobel
School) untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan menabung untuk pulang ke
Indonesia.
Pada tahun 1919 Suwardi dapat kembali ke Indonesia dan setelah itu berusaha
mencurahkan perhatiannya di dunia pendidikan sebagai alat untuk meraih
kemerdekaan Indonesia. Kemudian pada 3 Juli 1922 ia mendirikan sebuah perguruan
bercorak nasional, yakni Nationaal
Onderwijjs Instituut Tamansiswa (Perguruan Nasional Taman Siswa).
Corak pendidikannya dapat dikatakan sebagai paduan pendidikan gaya Eropa yang
telah ia pelajari selama di Belanda dan seni-budaya Jawa tradisional yang
merupakan latar sosialnya sejak mula. Ketika genap berusia 40 (empat puluh)
tahun menurut perhitungan tahun Caka, Suwardi mengganti namanya menjadi Ki
Hadjar Dewantara, tepatnya pada tanggal 23 Februari 1928 ia resmi melepas gelar
Raden Mas Suwardi Suryaningrat. Sebagaimana sedikit dijelaskan di depan, agar
ia dapat lebih dekat dengan rakyat dan menjadi bagian dari mereka.
Setelah Taman Siswa berkembang di berbagai daerah, Ki Hadjar kemudian
mewakafkan seluruh perguruan Taman Siswa kepada Persatuan Taman Siswa pada 7
Agustus 1930. Perkembangan Taman Siswa yang begitu pesat dan mendapat apresiasi
dari rakyat banyak tentu membuat gelisah pemerintah Hindia Belanda waktu itu.
Kemudian diterbitkanlah ordonansi sekolah liar (Wilde
Schoolen Ordonantie) yang melarang sekolah swasta (partikelir)
beroperasi tanpa izin dari pemerintah berkuasa. Ditentukan bahwa
sekolah-sekolah swasta harus menggunakan kurikulum dari pemerintah dan gurunya
harus tamatan dari sekolah guru pemerintah. Kalau Taman Siswa menaati ordonansi
tersebut, maka Taman Siswa akan tutup karena Taman Siswa menggunakan kurikulum
sendiri dan pamong (guru) dari sekolah guru Taman Siswa sendiri (Rahardjo,
2009: 57).
Ki Hadjar dan Taman Siswa tidak tinggal diam, perlawanan dilakukan dengan
menjalankan Taman Siswa seperti biasa, tidak terpengaruh oleh ordonansi
tersebut. Pamong yang ditangkap dan tidak boleh mengajar harus diganti oleh
pamong lain. Semboyan “ditangkap satu tumbuh seribu” muncul. Selain itu Ki
Hadjar juga mengirim surat kepada Gubernur Jenderal Belanda di Bogor yang
isinya ia akan melawan ordonansi tersebut sekuat-kuatnya dan selama-lamanya
dengan cara diam (Lijdelik Verset)
(bandingkan dengan gerakan Ahimsa dari Mahatma Gandhi di India). Akhirnya pada
1934 ordonansi tersebut dicabut karena Taman Siswa mendapat dukungan dari
gerakan politik nasional, termasuk Budi Utomo untuk terus melawan ordonansi
yang merugikan pendidikan pro-rakyat tersebut.
Di bawah pendudukan Jepang, pada 1943
ketika Jepang membentuk Pusat Tenaga Rakyat (Putera), Ki Hadjar duduk sebagai
salah seorang pemimpin di situ bersama Soekarno, Hatta, K.H Mas Mansyur.
Setelah proklamasi kemerdekaan, Ki Hadjar Dewantara diangkat menjadi Menteri
Pendidikan, Pengadjaran dan Kebudajaan (PP dan K) Indonesia yang pertama.
Secara resmi dunia akademik pun memberikan penghormatan kepada Ki Hadjar dengan
memberikan gelar Doktor Honoris Causa oleh Universitas Gadjah Mada (UGM) pada
1957. Dua tahun setelah itu, tepatnya pada 26 April 1959 Ki Hadjar Dewantara
meninggal dunia.
Setelah Ki Hadjar wafat, kepemimpinan
Taman Siswa diampu oleh istrinya, Nyi Hadjar Dewantara. Pada masa
kepemimpinannya itulah terdapat upaya dari gerakan komunis untuk menyusup dalam
tubuh Taman Siswa, salah satunya ditunjukkan oleh hasil kongres Taman Siswa
tahun 1963 yang didominasi oleh simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI),
bahkan sampai menjadikan Semaun (salah seorang tokoh komunis Indonesia waktu
itu) sebagai Badan Pembina Persatuan Taman Siswa. Melihat hal tersebut Nyi
Hadjar menggunakan hak prerogatifnya dengan membubarkan kepengurusan Majelis
Luhur Persatuan Taman Siswa dan menggantinya dengan orang-orang yang
non-komunis.
Namun sayang, pasca Nyi Hadjar sampai
sekarang Perguruan Taman Siswa justru tidak secemerlang dulu. Sekolah-sekolah
Taman Siswa bahkan menjadi pilihan terakhir bagi anak-anak yang tidak diterima
di sekolah negeri dan swasta lainnya. Dilihat dari sisi ketokohan agaknya juga
tidak ada lagi tokoh dari Taman Siswa yang mampu mencapai level seperti Ki
Hadjar Dewantara. Beberapa tokoh intelektual memang muncul seperti Ki
Supriyoko, Ki Darmaningtyas dan lainnya, namun juga agaknya belum dapat membawa
Taman Siswa sesuai dengan gagasan Ki Hadjar Dewantara pada mulanya. Sekarang
kalau kita melihat praktik pendidikan di Taman Siswa tidak banyak berbeda
dengan sekolah swasta lainnya. Sistem pendidikan asrama perlahan-lahan luntur,
demikian juga dengan konsep Taman Siswa sebagai pusat kebudayaan dan gerakan sosial.
Rahardjo (2009: 58-59) menyatakan bahwa
titik awal kemunduran Taman Siswa terjadi sejak 1965. Banyak pamong yang kritis
ditangkap, termasuk mereka yang berada di cabang-cabang Taman Siswa. Sementara
itu pamong pengganti lebih banyak diam dan tidak berani kritis untuk menjaga
keselamatan perguruan. Tidak kritisnya Taman Siswa tersebut yang jelas berbeda
dari sikap kritis Ki Hadjar pada akhirnya menjadikan Taman Siswa tidak lagi
diperhitungkan dalam konteks politik dan pendidikan nasional. Selain itu kebijakan
Orde Baru dalam mendirikan Sekolah Dasar (SD) Inpres secara masal juga
menjadikan sekolah-sekolah Taman Siswa sepi peminat, karena SD Inpres dianggap
lebih prestise, murah biayanya dan berkualitas.
Menjadi
Menteri PP dan K Indonesia Pertama
Ki Hadjar Dewantara mendapat kehormatan
sebagai Menteri PP dan K Republik Indonesia, yakni mulai 19 Agustus 1945 sampai
14 November 1945 (sekitar tiga bulan). Pada tahun 1945 sampai 1950 adalah masa
revolusi fisik, di mana perjuangan bangsa Indonesia melawan Belanda yang ingin
kembali menjajah Indonesia dilakukan secara fisik. Praktis dalam waktu yang
sesingkat itu tidak banyak program yang dapat dijalankan oleh Ki Hadjar ketika
menjabat sebagai Menteri PP dan K. Tidak banyak cerita yang dapat digali dari
masa tiga bulan tersebut. Peran besarnya justru memang tidak terlihat ketika
menjadi pejabat resmi negara, melainkan dalam lingkup yang lebih luas ketika
meletakkan dasar-dasar pendidikan nasional Indonesia.
Walaupun begitu, secara resmi sebelum
menjadi Menteri PP dan K, Ki Hadjar Dewantara lah yang menjelang detik-detik
proklamasi dalam “Sub Panitia Pendidikan dan Pengajaran” telah menyusun rencana
pengajaran bagi Indonesia Merdeka. Rencana tersebut antara lain adalah
berkaitan dengan: (1) Undang-undang kewajiban belajar; (2) Pendidikan dan
pengajaran nasional bersendikan agama dan kebudayaan bangsa; (3) Perkembangan
kebudayaan bangsa; (4) Pendirian sekolah-sekolah swasta yang dibiayai oleh
pemerintah; (5) Susunan pelajaran pengetahuan dan kepandaian umum sesuai dengan
rencana pelajaran; (6) Susunan/sistem persekolahan; (7) Ketentuan pelajaran
bahasa dan kebudayaan; (8) Ketentuan tentang Pendidikan Rakyat; (9) Pendirian
“Balai Bahasa Indonesia;” dan (10) Pengiriman pelajar-pelajar ke seluruh dunia.
Rencana tersebut memang tidak dapat
diselesaikan dalam waktu ketika Ki Hadjar menjabat sebagai menteri selama tiga
bulan, dan bahkan beberapa kabinet setelahnya juga tidak banyak bisa
menyelesaikan agenda tersebut. Antara tahun 1945 sampai 1950 memang dikenal
sebagai masa revolusi bangsa Indonesia yang tidak hanya membutuhkan negosiasi
politik saja, namun bahkan perjuangan bersenjata. Berbagai agresi yang
dilakukan Belanda yang ingin kembali menjajah Indonesia telah menjadikan
pemerintah Indonesia di bawah kepemimpinan Dwi Tunggal Soekarno-Hatta tidak
dapat menjalankan perannya secara penuh. Banyak program kependidikan gagal
karena masih tidak amannya kondisi politik saat itu. Setelah November 1945 Ki
Hadjar Dewantara kembali menekuni Taman Siswa dengan tetap membantu perjuangan
revolusioner pemerintah Republik Indonesia.
Amanat sebagai Menteri PP dan K dimaknai
Ki Hadjar sebagai tanggung jawab dan perjuangan. Ia dipilih karena memang layak
untuk menjabat sebagai Menteri PP dan K, bukan karena negosiasi politik
kekuasaan sesaat saja. Oleh karena itu, setelah lepas sebagai Menteri PP dan K,
Ki Hadjar tetap konsisten dalam upaya membangun Indonesia terutama melalui
dunia pendidikan. Tidak ada rasa enggan, gengsi atau kecil hati ketika ia
harus berada di bawah koordinasi Menteri PP dan K yang baru ketika semua itu
diniatkan untuk membangun pendidikan Indonesia. Pada tahun 1947 misalnya,
ketika Menteri PP dan K dipegang Mr. Suwandi, Ki Hadjar bersedia menjadi
pemimpin “Panitia Penyelidik Pendidikan dan Pengajaran” dan menyusun Rencanan
Pelajaran Sekolah Rakyat. Namun panitia tersebut tidak sempat menyelesaikan
tugasnya karena pecah agresi militer Belanda.
Jika kita melihat kondisi pendidikan
sekarang, di mana tradisi pengangkatan seseorang sebagai menteri Pendidikan dan
Kebudayaan dan/atau Menteri Pendidikan Nasional sekarang tidak banyak melihat
pada kemampuan penguasaan pedagogik dan latar akademiknya, maka hal tersebut
amatlah disayangkan. Banyak kepentingan politik praktis kekuasaan, ideologi
ekonomi-politik dan lainnya yang menyeret praksis pendidikan di pemerintahan
tidak lagi sebagaimana yang diinginkan oleh Ki Hadjar Dewantara. Logika politik
struktural dan gerakan kebudayaan memang tidak selalu sejalan, dan ketika Ki
Hadjar hanya sempat menjadi Menteri PP dan K selama tiga bulan, maka relatif
tidak banyak fondasi struktural dan apalagi kultural yang dapat ia bangun dalam
pemerintahan.
Pemikiran
dan Karya
Ki Hadjar Dewantara jelas orang besar
yang meninggalkan karya besar. Tidak hanya berupa lembaga pendidikan Perguruan
Taman Siswa, namun juga gagasan-gagasan besarnya tentang pendidikan yang telah
ia tuangkan dalam berbagai tulisan. Sejak muda ketika bergabung dalam
suratkabar di Jakarta ia telah banyak menulis tentang pendidikan, kebudayaan
dan politik.
Pada mulanya Taman Siswa adalah forum
diskusi “Sarasehan Malem Selasa Kliwonan” yang diselenggarakan Ki Hadjar dan
kawan-kawan di rumahnya. Dari forum itulah muncul gagasan-gagasan pendidikan.
Ki Hadjar kemudian ditunjuk untuk menangani pendidikan anak dan kaum muda,
sedangkan kaum dewasa ditangani oleh Ki Ageng Suryomentaram (salah seorang
putra Sri Sultan Hamengku Buwono VII yang juga menanggalkan gelar
kebangsawanannya sama seperti Ki Hadjar). Taman Siswa di Yogyakarta kemudian
memiliki banyak bagian-bagian khusus, seperti Taman Indriya (Taman
Kanak-Kanak), Taman Muda (sekolah dasar), Taman Dewasa (sekolah menengah
pertama), Taman Madya (sekolah menengah atas), Taman Karya Madya (sekolah
menengah kejuruan), Taman Guru (sekolah pendidikan guru), dan Sarjanawiyata
(perguruan tinggi).
Ki Hadjar Dewantara menyatakan bahwa
Taman Siswa yang didirikan untuk kepentingan rakyat. Dalam konteks perjuangan
nasional, Taman Siswa adalah bagian dari gerakan sosial dan politik untuk
mencapai kemerdekaan Indonesia pada waktu itu, dibuktikan oleh hubungannya
dengan Budi Utomo, Partai Nasional Indonesia (PNI) dan lainnya. Taman Siswa
digagas tidak untuk menjadi cenderung pada satu golongan saja, hal tersebut
dibuktikan dengan berdirinya Taman Siswa di Sumatera dan Borneo yang
mengakomodasi nilai dan kultur lokal dalam pembelajarannya.
Selain itu, Taman Siswa juga tidak sependapat dengan model pendidikan Barat
yang waktu itu didasarkan pada perintah (regering),
hukuman (tucht) dan ketertiban (orde). Model-model seperti itu
dianggap oleh Ki Hadjar Dewantara hanya akan mendatangkan tekanan batin dan
intelektual belaka pada siswa. Anak-aanak tidak akan dapat berkembang dengan
baik budi pekerti, emosionalnya dan bahkan nalarnya. Ketika pola ini dilakukan
terus menerus, maka mereka nantinya tidak akan dapat bekerja kalau tidak
diperintah. Bagi Ki Hadjar, kalau kita hanya meniru saja model pendidikan
seperti itu, maka kita tidak dapat membentuk orang yang punya kepribadian.
Dengan demikian hal utama yang harus
diingat adalah: pendidikan sekadar sebagai tuntunan di dalam hidup dan tumbuh
kembangnya anak-anak kita. Hal itu artinya kehidupan anak-anak tersebut berada
di luar kemampuan dan kehendak kita kaum pendidik, anak-anak harus dilihat
sebagai manusia yang memiliki kehendak dan fitrahnya sendiri, hingga biarkanlah
mereka untuk tumbuh dan berkembang sesuai dengan fitrah kehidupannya sendiri
(Dewantara, [1930] 2004: 21).
Pendidikan yang digagas oleh Ki Hadjar adalah pendidikan yang nir-paksaan.
Ia menyatakan bahwa istilah opvoeding atau pedagogiek sebenarnya tidak
dapat diterjemahkan ke dalam bahasa kita secara tepat. Istilah yang hampir
mendekati adalahmomong, among dan ngemong. Di Taman Siswa kemudian
dikenal dengan sistem Amongsebagai
dasar pendidikannya. Caranya tidak dengan memaksa, seorang guru baru diharuskan
mengintervensi kehidupan si anak ketika memang si anak tersebut salah. Dalam
sistem Among inilah familiar
metode Ing Ngarsa Sung Tuladha (bila
berada di depan harus dapat memberi contoh), Ing
Madya Mangun Karsa (bila di tengah-tengah harus dapat memberi
gagasan yang mendorong kemajuan), dan Tut
Wuri Handayani(ketika di belakang harus dapat memberikan dukungan atau
dorongan).
Konsep dan praksis pendidikan di
Perguruan Taman Siswa adalah pendidikan yang terlibat dalam masyarakat, tidak
menjadikan dirinya terpisah dan menjadi entitas yang berbeda dari masyarakat.
Jika dilihat dari gagasan pendidikan
kritis kontemporer, Taman Siswa yang dimaksud Ki Hadjar Dewantara tersebut
tidak sekadar menjadi pusat pendidikan saja, melainkan juga sebagai pusat kebudayaan
masyarakat sekitarnya dan pusat gerakan sosial-masyarakat. Untuk mendukung
terciptanya siswa yang berkepribadian dan dekat dengan rakyat itulah Taman
Siswa menggunakan sistem pondok atau asrama. Dalam asrama tersebut anak-anak
harus dapat belajar menolong diri sendiri dan hidup bersahaja.
Secara garis besar Ki Hadjar Dewantara berupaya untuk
mengkontekstualisasikan gagasan-gagasan pendidikan yang ia peroleh ketika
belajar di Belanda dengan nilai-nilai budaya Indonesia. Konon Ki Hadjar sangat
terpengaruh oleh Frobel karena ia juga pernah menjadi jurnalis guru Taman
Kanak-Kanak (Frobel School) ketika di Belanda. Selain itu juga ia banyak
mempelajari Montessori yang bahkan pernah berkunjung ke Yogyakarta untuk
melihat praksis pendidikan Taman Siswa pada tahun 1940. Ki Hadjar pun mengagumi
gagasan pendidikan Rabindranath Tagore (seorang pendidik dari India yang
terkenal dengan sistem asrama Shanti
Niketan) yang juga pernah berkunjung ke Taman Siswa pada tahun 1927.
Baik Montessori maupun Tagore menganggap bahwa model pendidikan Barat sangat
memuja intelektualisme, hingga mematikan perasaan dan menjadikan manusia ibarat
“mesin” belaka (Dewantara, [1941] 2004: 131-132).
Setidaknya berangkat dari gagasan pendidikan Frobel, Montessori dan Tagore
itulah Ki Hadjar Dewantara membangun dasar filosofis dan praksis pendidikan a
la Taman Siswa. Nilai-nilai kebangsaan, nasionalisme, perjuangan mencapai
kemerdekaan, dan terutama nilai-nilai tradisional Jawa. Hal tersebut dapat
dilihat dari istilah-istilah, semboyan dan prinsip-prinsip (seperti Tut Wuri Handayani dan
lainnya) yang menggunakan idiom-idiom Jawa. Bagi sebagaian orang hal tersebut
dilihat sebagai salah satu kelemahan Ki Hadjar yang belum dapat melepaskan diri
dari rasa primordialisme Kejawen. Hal itu jugalah yang agaknya menjadi salah
satu sebab sekolah-sekolah Taman Siswa tidak begitu menarik lagi bagi
masyarakat sekarang yang menghamba pada modernitas. Filosofi Jawa yang relatif
kental dalam Taman Siswa dianggap tidak relevan digunakan untuk menghadapi tantangan
globalisasi sekarang.
Gagasan pendidikan, kebudayaan dan politik Ki Hadjar Dewantara sekarang
dapat dibaca melalui dua jilid buku yang memuat kumpulan artikel dan karya
tulisnya, yakni Karya Ki Hadjar
Dewantara bagian Pertama: Pendidikan (cetakan ketiga tahun 2004)
dan Karya Ki Hadjar Dewantara bagian Kedua:
Kebudayaan (cetakan kedua tahun 1994) yang diterbitkan Majelis
Luhur Persatuan Taman Siswa. Pada buku bagian pertama (Pendidikan) dapat kita lihat luasnya minat
dan penguasaan Ki Hadjar terhadap praksis pendidikan, mulai dari membahasa
tentang filosofi pendidikan, politik pendidikan, sampai pada teknis pendidikan
anak-anak, di keluarga, pendidikan kesenian, ilmu adab (budi pekerti) dan
pendidikan bahasa. Pada buku kedua (Kebudayaan)
juga akan kita lihat minatnya yang luas pada tema-tema budaya.
Sebagian besar gagasan Ki Hadjar tersebut disampaikan melalui majalah Wasita yang didirikan oleh
Taman Siswa Yogyakarta pada Oktober 1928. Wasita terbit
sekali dalam sebulan dengan nuansa sebagai majalah untuk pendidik dan orangtua
bertujuan untuk memberikan informasi kepada mereka yang bergelut dalam bidang
pendidikan dan para orangtua yang memiliki anak-anak usia sekolah. Wasita menggunakan bahasa
Melayu dan Jawa. Lebih dari itu sebagaimana lazimnya pers milik pribumi waktu
itu, Wasita juga menjadi media
pergerakan kaum nasionalis (Rahardjo, 2009: 30-32).
Pribadi
yang Merakyat
Sebagia anak bangsawan ternyata sejak
kecil Ki Hadjar memang sudah dekat dengan rakyat sekitarnya. Konon sejak kecil
ia sudah terbiasa untuk mengajak anak-anak kecil seusianya masuk ke Pura
Pakualaman, misalnya untuk menonton wayang kulit dan pertunjukan seni lainnya.
Ia juga sering berkelahi dengan sinyo-sinyo Belanda yang menghina anak-anak
pribumi. Ketika akan diangkat menjadi Sri Paku Alam III ia memilih untuk
mengundurkan diri karena melihat keretakan hubungan keluarga.
Konon Suwardi (Ki Hadjar kecil) memiliki teman sepermainan bernama Sariman
yang berasal dari keluarga rakyat biasa. Ketika Suwardi akan disekolahkan ke
ELS ia juga meminta agar Sariman dapat ikut serta, tapi memang jelas tidak
mungkin. Hal itu jugalah yang secara personal membuat Suwardi kelak
bercica-cita untuk membuat pendidikan yang dapat dicapai oleh semua orang,
terutama oleh mereka yang dipinggirkan oleh pemerintah berkuasa. Keinginan
untuk dekat dengan rakyat jugalah yang membuat ia melepaskan gelar Raden
Mas-nya pada usia 40 tahun. Ki Hadjar tidak pernah mempromosikan namanya,
selain gelar kebangsawanannya, pun gelar doktor honoris causa yang diterimanya
dari UGM tidak pernah ia lekatkan pada namanya. Metode menyanyi tembang (lagu)
Jawa yang diciptakannya tidak ia sebut metode
Dewantara, melainkan metode Sari
Swara.
Di mata sahabatnya Ki Hadjar dikenal
sebagai orang yang keras dan tegas, namun tidak kasar. Ia juga pemberani
tidak sekadar dalam tulisan-tulisannya yang memerahkan telinga pemerintah
Hindia Belanda saja. Ketika peristiwa Ikada pada 19 September 1945 yang
bertujuan untuk menunjukkan eksistensi pemerintah Republik Indonesia (RI) pada
dunia, pemerintah dihadapkan pada tantangan menembus pasukan Jepang yang berada
di sekeliling lapangan. Soekarno-Hatta akhirnya bersepakat untuk hadir, tapi
siapa menteri yang berani membuka jalan untuk masuk lapangan Ikada yang sudah
sesak dipenuhi rakyat dan tentara Jepang? Di situlah Ki Hadjar Dewantara
bersama Mr. Achmad Subardjo (Menteri Luar Negeri) dan Mr. Iwa Kusuma Sumantri
(Menteri Sosial) menyediakan diri mereka sebagai pembuka jalan dan tameng.
Padahal waktu itu Ki Hadjar sudah tidak muda lagi (Rahardjo, 2009: 101-102).
sumber :
www.wikipedia.org
pedagogikritis.wordpress.com
KAMI SEKELUARGA MENGUCAPKAN BANYAK TERIMA KASIH ATAS BANTUANNYA MBAH , NOMOR YANG MBAH BERIKAN/ 4D SGP& HK SAYA DAPAT (350) JUTA ALHAMDULILLAH TEMBUS, SELURUH HUTANG2 SAYA SUDAH SAYA LUNAS DAN KAMI BISAH USAHA LAGI. JIKA ANDA INGIN SEPERTI SAYA HUB MBAH_PURO _085_342_734_904_ terima kasih.
BalasHapusKAMI SEKELUARGA MENGUCAPKAN BANYAK TERIMA KASIH ATAS BANTUANNYA MBAH , NOMOR YANG MBAH BERIKAN/ 4D SGP& HK SAYA DAPAT (350) JUTA ALHAMDULILLAH TEMBUS, SELURUH HUTANG2 SAYA SUDAH SAYA LUNAS DAN KAMI BISAH USAHA LAGI. JIKA ANDA INGIN SEPERTI SAYA HUB MBAH_PURO _085_342_734_904_ terima kasih.
KAMI SEKELUARGA MENGUCAPKAN BANYAK TERIMA KASIH ATAS BANTUANNYA MBAH , NOMOR YANG MBAH BERIKAN/ 4D SGP& HK SAYA DAPAT (350) JUTA ALHAMDULILLAH TEMBUS, SELURUH HUTANG2 SAYA SUDAH SAYA LUNAS DAN KAMI BISAH USAHA LAGI. JIKA ANDA INGIN SEPERTI SAYA HUB MBAH_PURO _085_342_734_904_ terima kasih.
http://taipannnewsss.blogspot.com/2018/03/wanita-egois-dalam-cinta-itu-penting.html
BalasHapusQQTAIPAN .ORG | QQTAIPAN .NET | TAIPANQQ .VEGAS
-KARTU BOLEH BANDING, SERVICE JANGAN TANDING !-
Jangan Menunda Kemenangan Bermain Anda ! Segera Daftarkan User ID nya & Mainkan Kartu Bagusnya.
Dengan minimal Deposit hanya Rp 20.000,-
1 user ID sudah bisa bermain 8 Permainan.
• BandarQ
• AduQ
• Capsa
• Domino99
• Poker
• Bandarpoker.
• Sakong
• Bandar66
Kami juga akan memudahkan anda untuk pembuatan ID dengan registrasi secara gratis.
Untuk proses DEPO & WITHDRAW langsung ditangani oleh
customer service kami yang profesional dan ramah.
NO SYSTEM ROBOT!!! 100 % PLAYER Vs PLAYER
Anda Juga Dapat Memainkannya Via Android / IPhone / IPad
Untuk info lebih jelas silahkan hubungi CS kami-Online 24jam !!
• WA: +62 813 8217 0873
• BB : D60E4A61
• BB : 2B3D83BE
Come & Join Us!
Nice
BalasHapus