Selasa, 20 Januari 2015


Pendidikan merupakan suatu hal yang tak dapat dipisahkan dari kita. Pendidikan telah kita jalani sejak kita lahir mulai dari pendidikan informal sebatas keluarga lalu seterusnya sampai masuk ke dalam pendidikan formal sekolah dasar, sekolah menengah pertama, sekolah menengah atas, dan kuliah. Jika kita membicarakan tentang pendidikan maka tidak dapat lepas dari seorang Ki Hajar Dewantara, beliau merupakan seorang pahlawan pendidikan yang mempunyai andil besar dalam membentuk sistem pendidikan hingga sampai pada era indonesia modern saat ini. Walaupun pada realita nya peninggalan yang di berikan oleh beliau tidak terlalu terimplementasikan dengan baik.
Pada masa awal-awal kemerdekaan Indonesia, situasi politik belum stabil hingga menyebabkan terjadinya perubahan pada kelembagaan pendidikan Indonesia. Pada awal kemerdekaan pemerintah Republik Indonesia (RI) telah membentuk kementerian yang mengurus dunia pendidikan disebut sebagai “Kementerian Pengajaran.” Ketika terjadi agresi Belanda, Kementerian Pengajaran ditempatkan di Surakarta, pemindahan tersebut terjadi pada Januari 1946. Pada waktu itu juga nama kementerian diubah menjadi “Kementerian Pengajaran Pendidikan dan Kebudayaan” atau yang disingkat menjadi Kementerian PP dan K (Sjamsudin, 1993: 9).
Lebih dari itu, ketika Belanda menyerang pada Desember 1948, banyak kantor kementerian dipindahkan, termasuk Kementerian PP dan K. Waktu itu organisasi kementerian berjalan sebagaimana mestinya dan terkenal dengan sebutan “Kementerian Gerilya.” Ketika sudah pulih, maka pada Juni 1949, Kementerian PP dan K dipindah lagi dari Surakarta ke Yogyakarrta dan dibentuk tiga jawatan baru: Jawatan Inspeksi Pengajaran, Jawatan Pendidikan Masyarakat, dan Jawatan Kebudayaan. Pada awal masa kemerdekaan itulah, dan juga tahun-tahun menjelang proklamasi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945, seorang tokoh pergerakan nasional dan pejuang pendidikan yang besar sekali perannya adalah Ki Hadjar Dewantara.
Sekarang tanggal kelahirannya, 2 Mei diperingati sebagai hari Pendidikan Nasional sebagai bentuk penghormatan dari pemerintah dan masyarakat Indonesia kepada beliau yang telah begitu besar jasanya dalam meletakkan dasar pendidikan nasional. Sumbangannya bagi Indonesia, terutama dalam dunia pendidikan adalah hadirnya Perguruan Taman Siswa dengan substansi ideologis kebangsaan, keindonesiaan dan kerakyatan. Gagasan dan pemikiran Ki Hadjar tentang pendidikan dan kebudayaan sampai sekarang masih selalu dikaji dan dianggap relevan diimplementasikan dalam sistem pendidikan nasional. Salah satunya adalah prinsip Tut Wuri Handayani yang menjadi semboyan resmi dari implementasi sistem pendidikan nasional.

Riwayat Suwardi dan Taman Siswa
Nama kecilnya adalah Raden Mas Suwardi Suryaningrat dan setelah dewasa ia mengganti namanya menjadi Ki Hadjar Dewantara. Penggantian nama tersebut pun pada hakikatnya merupakan simbol filosofi dan perjuangannya. Dari nama kecil sebagai bangsawan bergelar Raden, kemudian ia memilih bergelar Ki yang merepresentasikan dirinya sebagai bagian dari orang kebanyakan. Ki Hadjar adalah jenis bangsawan yang sadar dan rela untuk menjadi sama dengan manusia lainnya. Dengan begitu, sejatinya dalam sejarah pergantian namanya dari Raden menjadi Ki saja, sudah tersirat filosofi anti-feodal dan anti-penjajahannya.
Suwardi lahir di Yogyakarta pada 2 Mei 1889. Tanggal itulah yang kelak di kemudian hari dikenang dan ditetapkan sebagai hari pendidikan nasional oleh pemerintah Indonesia. Ia berasal dari keluarga keraton, tepatnya Pura Pakualaman, Yogyakarta. Suwardi merupakan cucu dari Sri Paku Alam III, ayahnya bernama K.P.H. Suryaningrat. Dari pihak Ibu adalah Raden Ayu Sandiyah yang merupakan keturunan Sunan Kalijaga. Ketika kecil Suwardi mendapatkan pendidikan agama dari K.H. Abdurrahman, beliau seorang kyai dari Pesantren Kalasan. Pendidikan formalnya ia dapatkan di Europeesche Lagere School (ELS) yang menggunakan bahasa Belanda sebagai pengantarnya. Setelah tamat Suwardi melanjutkan ke Kweekschool (sekolah guru Belanda) selama satu tahun dan kemudian pindah ke School tot Opleding voor Inlandsche Arsten (Stovia) di Jakarta dengan beasiswa.

Namun sayang Suwardi tidak selesai dan terpaksa keluar karena sakit selama empat bulan yang menjadikannya tidak naik kelas hingga beasiswanya dicabut. Namun sebenarnya terdapat alasan politis dibalik pencabutan beasiswa tersebut, yakni karena Suwardi membacakan sebuah sajak kepahlawanan Ali Basah Sentot Prawirodirdjo (panglima perang Pangeran Diponegoro). Konon pagi harinya setelah membacakan sajak tersebut, Suwardi dipanggil oleh Direktur Stovia dan dimarahi habis-habisan. Ia dituduh membangkitkan semangat memberontak terhadap pemerintah Hindia Belanda. Kemudian ia bekerja sebagai wartawan di beberapa surat kabar waktu itu, antara lainSedya Tama, Midden Java, De Express, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer, dan Poesara. Selain itu ia juga menerbitkan Goentoer Bergerak dan Hindia Bergerak.

Selain itu ia juga aktif di Budi Oetama pada 1908 dan mendapat tugas yang cukup menantang di biro propaganda. Di situlah ia mencoba untuk mengobarkan semangat dan kesadaran masyarakat akan pentingnya kesatuan dan persatuan Indonesia. Pada 25 Desember 1912 ia mendirikan Indische Partij sebagai partai politik pertama beraliran nasionalis di Indonesia bersama dr. Douwes Dekker (Danudirja Setyabudhi) dan dr. Cipto Mangunkusumo. Indische Partij menjadi partai politik pertama berideologi nasionalis dengan tujuan tegas, yakni Indonesia merdeka. Oleh karena itu pula, Indische Partijkemudian ditolak menjadi badan hukum oleh pemerintah Belanda pada 11 Maret 1913 dengan alasan organisasi ini dapat membangkitkan nasionalisme rakyat untuk menentang Belanda.

Pada tahun itu juga Suwardi mengkritik perayaan seratus tahun bebasnya Belanda dari penjajahan Perancis pada November 1913. Ia mendirikan Komite Bumiputera yang merupakan komite tandingan dari komite perayaan seratus tahun kemerdekaan bangsa Belanda dari Perancis. Komite Bumiputera mengkritik perayaan tersebut yang akan dirayakan secara besar-besaran dengan menarik uang dari rakyat jajahannya. Kritikan Ki Hadjar tersebut dimuat di surat kabar milik Douwes Dekker berjudul “Seandainya Aku Seorang Belanda” (Als ik Eens Nederlander Was). Kontan saja hal itu membuat pemerintah Belanda berang pada Suwardi. Pemerintah kolonial meminta bantuan Sri Paku Alam II dan K.P.H. Suryaningrat agar mereka mendatangi Suwardi di Bandung untuk membujuknya agar tidak radikal. Namun mereka berdua justru berpesan, “Ingatlah, seorang bangsawan tidak akan menelan ludahnya sendiri.”

Gubernur Jenderal Idenburg kemudian menjatuhkan hukuman tanpa proses pengadilan pada Suwardi berupa hukuman internering atau pembuangan ke Pulau Bangka. Kedua sahabatnya, dr. Douwes Dekker dan dr. Cipto Mangunkusumo pun turut dibuang karena membela Ki Hadjar. Dalam hukuman tersebut mereka menginginkan untuk dibuang ke Negeri Belanda saja karena dianggap akan lebih bermanfaat dengan mempelajari banyak hal ketimbang dibuang ke daerah terpencil sebelumnya. Ternyata permintaan tersebut dikabulkan, dan mulai Agustus 1913 mereka berada di Belanda sebagai pelaksanaan hukuman. Hal itu tentu saja tidak disia-siakan oleh mereka, terutama Ki Hadjar dengan memperdalam tentang pendidikan dan pengajaran, hingga berhasil mendapatkanEuropeesche Akte. Di negeri Belanda, Suwardi juga bekerja sebagai jurnalis guru Taman Kanak-Kanak (Frobel School) untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan menabung untuk pulang ke Indonesia.

Pada tahun 1919 Suwardi dapat kembali ke Indonesia dan setelah itu berusaha mencurahkan perhatiannya di dunia pendidikan sebagai alat untuk meraih kemerdekaan Indonesia. Kemudian pada 3 Juli 1922 ia mendirikan sebuah perguruan bercorak nasional, yakni Nationaal Onderwijjs Instituut Tamansiswa (Perguruan Nasional Taman Siswa). Corak pendidikannya dapat dikatakan sebagai paduan pendidikan gaya Eropa yang telah ia pelajari selama di Belanda dan seni-budaya Jawa tradisional yang merupakan latar sosialnya sejak mula. Ketika genap berusia 40 (empat puluh) tahun menurut perhitungan tahun Caka, Suwardi mengganti namanya menjadi Ki Hadjar Dewantara, tepatnya pada tanggal 23 Februari 1928 ia resmi melepas gelar Raden Mas Suwardi Suryaningrat. Sebagaimana sedikit dijelaskan di depan, agar ia dapat lebih dekat dengan rakyat dan menjadi bagian dari mereka.

Setelah Taman Siswa berkembang di berbagai daerah, Ki Hadjar kemudian mewakafkan seluruh perguruan Taman Siswa kepada Persatuan Taman Siswa pada 7 Agustus 1930. Perkembangan Taman Siswa yang begitu pesat dan mendapat apresiasi dari rakyat banyak tentu membuat gelisah pemerintah Hindia Belanda waktu itu. Kemudian diterbitkanlah ordonansi sekolah liar (Wilde Schoolen Ordonantie) yang melarang sekolah swasta (partikelir) beroperasi tanpa izin dari pemerintah berkuasa. Ditentukan bahwa sekolah-sekolah swasta harus menggunakan kurikulum dari pemerintah dan gurunya harus tamatan dari sekolah guru pemerintah. Kalau Taman Siswa menaati ordonansi tersebut, maka Taman Siswa akan tutup karena Taman Siswa menggunakan kurikulum sendiri dan pamong (guru) dari sekolah guru Taman Siswa sendiri (Rahardjo, 2009: 57).

Ki Hadjar dan Taman Siswa tidak tinggal diam, perlawanan dilakukan dengan menjalankan Taman Siswa seperti biasa, tidak terpengaruh oleh ordonansi tersebut. Pamong yang ditangkap dan tidak boleh mengajar harus diganti oleh pamong lain. Semboyan “ditangkap satu tumbuh seribu” muncul. Selain itu Ki Hadjar juga mengirim surat kepada Gubernur Jenderal Belanda di Bogor yang isinya ia akan melawan ordonansi tersebut sekuat-kuatnya dan selama-lamanya dengan cara diam (Lijdelik Verset) (bandingkan dengan gerakan Ahimsa dari Mahatma Gandhi di India). Akhirnya pada 1934 ordonansi tersebut dicabut karena Taman Siswa mendapat dukungan dari gerakan politik nasional, termasuk Budi Utomo untuk terus melawan ordonansi yang merugikan pendidikan pro-rakyat tersebut.

Di bawah pendudukan Jepang, pada 1943 ketika Jepang membentuk Pusat Tenaga Rakyat (Putera), Ki Hadjar duduk sebagai salah seorang pemimpin di situ bersama Soekarno, Hatta, K.H Mas Mansyur. Setelah proklamasi kemerdekaan, Ki Hadjar Dewantara diangkat menjadi Menteri Pendidikan, Pengadjaran dan Kebudajaan (PP dan K) Indonesia yang pertama. Secara resmi dunia akademik pun memberikan penghormatan kepada Ki Hadjar dengan memberikan gelar Doktor Honoris Causa oleh Universitas Gadjah Mada (UGM) pada 1957. Dua tahun setelah itu, tepatnya pada 26 April 1959 Ki Hadjar Dewantara meninggal dunia.
Setelah Ki Hadjar wafat, kepemimpinan Taman Siswa diampu oleh istrinya, Nyi Hadjar Dewantara. Pada masa kepemimpinannya itulah terdapat upaya dari gerakan komunis untuk menyusup dalam tubuh Taman Siswa, salah satunya ditunjukkan oleh hasil kongres Taman Siswa tahun 1963 yang didominasi oleh simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI), bahkan sampai menjadikan Semaun (salah seorang tokoh komunis Indonesia waktu itu) sebagai Badan Pembina Persatuan Taman Siswa. Melihat hal tersebut Nyi Hadjar menggunakan hak prerogatifnya dengan membubarkan kepengurusan Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa dan menggantinya dengan orang-orang yang non-komunis.
Namun sayang, pasca Nyi Hadjar sampai sekarang Perguruan Taman Siswa justru tidak secemerlang dulu. Sekolah-sekolah Taman Siswa bahkan menjadi pilihan terakhir bagi anak-anak yang tidak diterima di sekolah negeri dan swasta lainnya. Dilihat dari sisi ketokohan agaknya juga tidak ada lagi tokoh dari Taman Siswa yang mampu mencapai level seperti Ki Hadjar Dewantara. Beberapa tokoh intelektual memang muncul seperti Ki Supriyoko, Ki Darmaningtyas dan lainnya, namun juga agaknya belum dapat membawa Taman Siswa sesuai dengan gagasan Ki Hadjar Dewantara pada mulanya. Sekarang kalau kita melihat praktik pendidikan di Taman Siswa tidak banyak berbeda dengan sekolah swasta lainnya. Sistem pendidikan asrama perlahan-lahan luntur, demikian juga dengan konsep Taman Siswa sebagai pusat kebudayaan dan gerakan sosial.
Rahardjo (2009: 58-59) menyatakan bahwa titik awal kemunduran Taman Siswa terjadi sejak 1965. Banyak pamong yang kritis ditangkap, termasuk mereka yang berada di cabang-cabang Taman Siswa. Sementara itu pamong pengganti lebih banyak diam dan tidak berani kritis untuk menjaga keselamatan perguruan. Tidak kritisnya Taman Siswa tersebut yang jelas berbeda dari sikap kritis Ki Hadjar pada akhirnya menjadikan Taman Siswa tidak lagi diperhitungkan dalam konteks politik dan pendidikan nasional. Selain itu kebijakan Orde Baru dalam mendirikan Sekolah Dasar (SD) Inpres secara masal juga menjadikan sekolah-sekolah Taman Siswa sepi peminat, karena SD Inpres dianggap lebih prestise, murah biayanya dan berkualitas.
Menjadi Menteri PP dan K Indonesia Pertama
Ki Hadjar Dewantara mendapat kehormatan sebagai Menteri PP dan K Republik Indonesia, yakni mulai 19 Agustus 1945 sampai 14 November 1945 (sekitar tiga bulan). Pada tahun 1945 sampai 1950 adalah masa revolusi fisik, di mana perjuangan bangsa Indonesia melawan Belanda yang ingin kembali menjajah Indonesia dilakukan secara fisik. Praktis dalam waktu yang sesingkat itu tidak banyak program yang dapat dijalankan oleh Ki Hadjar ketika menjabat sebagai Menteri PP dan K. Tidak banyak cerita yang dapat digali dari masa tiga bulan tersebut. Peran besarnya justru memang tidak terlihat ketika menjadi pejabat resmi negara, melainkan dalam lingkup yang lebih luas ketika meletakkan dasar-dasar pendidikan nasional Indonesia.
Walaupun begitu, secara resmi sebelum menjadi Menteri PP dan K, Ki Hadjar Dewantara lah yang menjelang detik-detik proklamasi dalam “Sub Panitia Pendidikan dan Pengajaran” telah menyusun rencana pengajaran bagi Indonesia Merdeka. Rencana tersebut antara lain adalah berkaitan dengan: (1) Undang-undang kewajiban belajar; (2) Pendidikan dan pengajaran nasional bersendikan agama dan kebudayaan bangsa; (3) Perkembangan kebudayaan bangsa; (4) Pendirian sekolah-sekolah swasta yang dibiayai oleh pemerintah; (5) Susunan pelajaran pengetahuan dan kepandaian umum sesuai dengan rencana pelajaran; (6) Susunan/sistem persekolahan; (7) Ketentuan pelajaran bahasa dan kebudayaan; (8) Ketentuan tentang Pendidikan Rakyat; (9) Pendirian “Balai Bahasa Indonesia;” dan (10) Pengiriman pelajar-pelajar ke seluruh dunia.
Rencana tersebut memang tidak dapat diselesaikan dalam waktu ketika Ki Hadjar menjabat sebagai menteri selama tiga bulan, dan bahkan beberapa kabinet setelahnya juga tidak banyak bisa menyelesaikan agenda tersebut. Antara tahun 1945 sampai 1950 memang dikenal sebagai masa revolusi bangsa Indonesia yang tidak hanya membutuhkan negosiasi politik saja, namun bahkan perjuangan bersenjata. Berbagai agresi yang dilakukan Belanda yang ingin kembali menjajah Indonesia telah menjadikan pemerintah Indonesia di bawah kepemimpinan Dwi Tunggal Soekarno-Hatta tidak dapat menjalankan perannya secara penuh. Banyak program kependidikan gagal karena masih tidak amannya kondisi politik saat itu. Setelah November 1945 Ki Hadjar Dewantara kembali menekuni Taman Siswa dengan tetap membantu perjuangan revolusioner pemerintah Republik Indonesia.
Amanat sebagai Menteri PP dan K dimaknai Ki Hadjar sebagai tanggung jawab dan perjuangan. Ia dipilih karena memang layak untuk menjabat sebagai Menteri PP dan K, bukan karena negosiasi politik kekuasaan sesaat saja. Oleh karena itu, setelah lepas sebagai Menteri PP dan K, Ki Hadjar tetap konsisten dalam upaya membangun Indonesia terutama melalui dunia pendidikan.  Tidak ada rasa enggan, gengsi atau kecil hati ketika ia harus berada di bawah koordinasi Menteri PP dan K yang baru ketika semua itu diniatkan untuk membangun pendidikan Indonesia. Pada tahun 1947 misalnya, ketika Menteri PP dan K dipegang Mr. Suwandi, Ki Hadjar bersedia menjadi pemimpin “Panitia Penyelidik Pendidikan dan Pengajaran” dan menyusun Rencanan Pelajaran Sekolah Rakyat. Namun panitia tersebut tidak sempat menyelesaikan tugasnya karena pecah agresi militer Belanda.
Jika kita melihat kondisi pendidikan sekarang, di mana tradisi pengangkatan seseorang sebagai menteri Pendidikan dan Kebudayaan dan/atau Menteri Pendidikan Nasional sekarang tidak banyak melihat pada kemampuan penguasaan pedagogik dan latar akademiknya, maka hal tersebut amatlah disayangkan. Banyak kepentingan politik praktis kekuasaan, ideologi ekonomi-politik dan lainnya yang menyeret praksis pendidikan di pemerintahan tidak lagi sebagaimana yang diinginkan oleh Ki Hadjar Dewantara. Logika politik struktural dan gerakan kebudayaan memang tidak selalu sejalan, dan ketika Ki Hadjar hanya sempat menjadi Menteri PP dan K selama tiga bulan, maka relatif tidak banyak fondasi struktural dan apalagi kultural yang dapat ia bangun dalam pemerintahan.
Pemikiran dan Karya
Ki Hadjar Dewantara jelas orang besar yang meninggalkan karya besar. Tidak hanya berupa lembaga pendidikan Perguruan Taman Siswa, namun juga gagasan-gagasan besarnya tentang pendidikan yang telah ia tuangkan dalam berbagai tulisan. Sejak muda ketika bergabung dalam suratkabar di Jakarta ia telah banyak menulis tentang pendidikan, kebudayaan dan politik.
Pada mulanya Taman Siswa adalah forum diskusi “Sarasehan Malem Selasa Kliwonan” yang diselenggarakan Ki Hadjar dan kawan-kawan di rumahnya. Dari forum itulah muncul gagasan-gagasan pendidikan. Ki Hadjar kemudian ditunjuk untuk menangani pendidikan anak dan kaum muda, sedangkan kaum dewasa ditangani oleh Ki Ageng Suryomentaram (salah seorang putra Sri Sultan Hamengku Buwono VII yang juga menanggalkan gelar kebangsawanannya sama seperti Ki Hadjar). Taman Siswa di Yogyakarta kemudian memiliki banyak bagian-bagian khusus, seperti Taman Indriya (Taman Kanak-Kanak), Taman Muda (sekolah dasar), Taman Dewasa (sekolah menengah pertama), Taman Madya (sekolah menengah atas), Taman Karya Madya (sekolah menengah kejuruan), Taman Guru (sekolah pendidikan guru), dan Sarjanawiyata (perguruan tinggi).
Ki Hadjar Dewantara menyatakan bahwa Taman Siswa yang didirikan untuk kepentingan rakyat. Dalam konteks perjuangan nasional, Taman Siswa adalah bagian dari gerakan sosial dan politik untuk mencapai kemerdekaan Indonesia pada waktu itu, dibuktikan oleh hubungannya dengan Budi Utomo, Partai Nasional Indonesia (PNI) dan lainnya. Taman Siswa digagas tidak untuk menjadi cenderung pada satu golongan saja, hal tersebut dibuktikan dengan berdirinya Taman Siswa di Sumatera dan Borneo yang mengakomodasi nilai dan kultur lokal dalam pembelajarannya.

Selain itu, Taman Siswa juga tidak sependapat dengan model pendidikan Barat yang waktu itu didasarkan pada perintah (regering), hukuman (tucht) dan ketertiban (orde). Model-model seperti itu dianggap oleh Ki Hadjar Dewantara hanya akan mendatangkan tekanan batin dan intelektual belaka pada siswa. Anak-aanak tidak akan dapat berkembang dengan baik budi pekerti, emosionalnya dan bahkan nalarnya. Ketika pola ini dilakukan terus menerus, maka mereka nantinya tidak akan dapat bekerja kalau tidak diperintah. Bagi Ki Hadjar, kalau kita hanya meniru saja model pendidikan seperti itu, maka kita tidak dapat membentuk orang yang punya kepribadian.

Dengan demikian hal utama yang harus diingat adalah: pendidikan sekadar sebagai tuntunan di dalam hidup dan tumbuh kembangnya anak-anak kita. Hal itu artinya kehidupan anak-anak tersebut berada di luar kemampuan dan kehendak kita kaum pendidik, anak-anak harus dilihat sebagai manusia yang memiliki kehendak dan fitrahnya sendiri, hingga biarkanlah mereka untuk tumbuh dan berkembang sesuai dengan fitrah kehidupannya sendiri (Dewantara, [1930] 2004: 21).
Pendidikan yang digagas oleh Ki Hadjar adalah pendidikan yang nir-paksaan. Ia menyatakan bahwa istilah opvoeding atau pedagogiek sebenarnya tidak dapat diterjemahkan ke dalam bahasa kita secara tepat. Istilah yang hampir mendekati adalahmomong, among dan ngemong. Di Taman Siswa kemudian dikenal dengan sistem Amongsebagai dasar pendidikannya. Caranya tidak dengan memaksa, seorang guru baru diharuskan mengintervensi kehidupan si anak ketika memang si anak tersebut salah. Dalam sistem Among inilah familiar metode Ing Ngarsa Sung Tuladha (bila berada di depan harus dapat memberi contoh), Ing Madya Mangun Karsa (bila di tengah-tengah harus dapat memberi gagasan yang mendorong kemajuan), dan Tut Wuri Handayani(ketika di belakang harus dapat memberikan dukungan atau dorongan).

Konsep dan praksis pendidikan di Perguruan Taman Siswa adalah pendidikan yang terlibat dalam masyarakat, tidak menjadikan dirinya terpisah dan menjadi entitas yang berbeda dari masyarakat.
Jika dilihat dari gagasan pendidikan kritis kontemporer, Taman Siswa yang dimaksud Ki Hadjar Dewantara tersebut tidak sekadar menjadi pusat pendidikan saja, melainkan juga sebagai pusat kebudayaan masyarakat sekitarnya dan pusat gerakan sosial-masyarakat. Untuk mendukung terciptanya siswa yang berkepribadian dan dekat dengan rakyat itulah Taman Siswa menggunakan sistem pondok atau asrama. Dalam asrama tersebut anak-anak harus dapat belajar menolong diri sendiri dan hidup bersahaja.
Secara garis besar Ki Hadjar Dewantara berupaya untuk mengkontekstualisasikan gagasan-gagasan pendidikan yang ia peroleh ketika belajar di Belanda dengan nilai-nilai budaya Indonesia. Konon Ki Hadjar sangat terpengaruh oleh Frobel karena ia juga pernah menjadi jurnalis guru Taman Kanak-Kanak (Frobel School) ketika di Belanda. Selain itu juga ia banyak mempelajari Montessori yang bahkan pernah berkunjung ke Yogyakarta untuk melihat praksis pendidikan Taman Siswa pada tahun 1940. Ki Hadjar pun mengagumi gagasan pendidikan Rabindranath Tagore (seorang pendidik dari India yang terkenal dengan sistem asrama Shanti Niketan) yang juga pernah berkunjung ke Taman Siswa pada tahun 1927. Baik Montessori maupun Tagore menganggap bahwa model pendidikan Barat sangat memuja intelektualisme, hingga mematikan perasaan dan menjadikan manusia ibarat “mesin” belaka (Dewantara, [1941] 2004: 131-132).
Setidaknya berangkat dari gagasan pendidikan Frobel, Montessori dan Tagore itulah Ki Hadjar Dewantara membangun dasar filosofis dan praksis pendidikan a la Taman Siswa. Nilai-nilai kebangsaan, nasionalisme, perjuangan mencapai kemerdekaan, dan terutama nilai-nilai tradisional Jawa. Hal tersebut dapat dilihat dari istilah-istilah, semboyan dan prinsip-prinsip (seperti Tut Wuri Handayani dan lainnya) yang menggunakan idiom-idiom Jawa. Bagi sebagaian orang hal tersebut dilihat sebagai salah satu kelemahan Ki Hadjar yang belum dapat melepaskan diri dari rasa primordialisme Kejawen. Hal itu jugalah yang agaknya menjadi salah satu sebab sekolah-sekolah Taman Siswa tidak begitu menarik lagi bagi masyarakat sekarang yang menghamba pada modernitas. Filosofi Jawa yang relatif kental dalam Taman Siswa dianggap tidak relevan digunakan untuk menghadapi tantangan globalisasi sekarang.
Gagasan pendidikan, kebudayaan dan politik Ki Hadjar Dewantara sekarang dapat dibaca melalui dua jilid buku yang memuat kumpulan artikel dan karya tulisnya, yakni Karya Ki Hadjar Dewantara bagian Pertama: Pendidikan (cetakan ketiga tahun 2004) dan Karya Ki Hadjar Dewantara bagian Kedua: Kebudayaan (cetakan kedua tahun 1994) yang diterbitkan Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa. Pada buku bagian pertama (Pendidikan) dapat kita lihat luasnya minat dan penguasaan Ki Hadjar terhadap praksis pendidikan, mulai dari membahasa tentang filosofi pendidikan, politik pendidikan, sampai pada teknis pendidikan anak-anak, di keluarga, pendidikan kesenian, ilmu adab (budi pekerti) dan pendidikan bahasa. Pada buku kedua (Kebudayaan) juga akan kita lihat minatnya yang luas pada tema-tema budaya.

Sebagian besar gagasan Ki Hadjar tersebut disampaikan melalui majalah Wasita yang didirikan oleh Taman Siswa Yogyakarta pada Oktober 1928. Wasita terbit sekali dalam sebulan dengan nuansa sebagai majalah untuk pendidik dan orangtua bertujuan untuk memberikan informasi kepada mereka yang bergelut dalam bidang pendidikan dan para orangtua yang memiliki anak-anak usia sekolah. Wasita menggunakan bahasa Melayu dan Jawa. Lebih dari itu sebagaimana lazimnya pers milik pribumi waktu itu, Wasita juga menjadi media pergerakan kaum nasionalis (Rahardjo, 2009: 30-32).

Pribadi yang Merakyat
Sebagia anak bangsawan ternyata sejak kecil Ki Hadjar memang sudah dekat dengan rakyat sekitarnya. Konon sejak kecil ia sudah terbiasa untuk mengajak anak-anak kecil seusianya masuk ke Pura Pakualaman, misalnya untuk menonton wayang kulit dan pertunjukan seni lainnya. Ia juga sering berkelahi dengan sinyo-sinyo Belanda yang menghina anak-anak pribumi. Ketika akan diangkat menjadi Sri Paku Alam III ia memilih untuk mengundurkan diri karena melihat keretakan hubungan keluarga.
Konon Suwardi (Ki Hadjar kecil) memiliki teman sepermainan bernama Sariman yang berasal dari keluarga rakyat biasa. Ketika Suwardi akan disekolahkan ke ELS ia juga meminta agar Sariman dapat ikut serta, tapi memang jelas tidak mungkin. Hal itu jugalah yang secara personal membuat Suwardi kelak bercica-cita untuk membuat pendidikan yang dapat dicapai oleh semua orang, terutama oleh mereka yang dipinggirkan oleh pemerintah berkuasa. Keinginan untuk dekat dengan rakyat jugalah yang membuat ia melepaskan gelar Raden Mas-nya pada usia 40 tahun. Ki Hadjar tidak pernah mempromosikan namanya, selain gelar kebangsawanannya, pun gelar doktor honoris causa yang diterimanya dari UGM tidak pernah ia lekatkan pada namanya. Metode menyanyi tembang (lagu) Jawa yang diciptakannya tidak ia sebut metode Dewantara, melainkan metode Sari Swara.


Di mata sahabatnya Ki Hadjar dikenal sebagai orang yang keras dan tegas, namun tidak kasar.  Ia juga pemberani tidak sekadar dalam tulisan-tulisannya yang memerahkan telinga pemerintah Hindia Belanda saja. Ketika peristiwa Ikada pada 19 September 1945 yang bertujuan untuk menunjukkan eksistensi pemerintah Republik Indonesia (RI) pada dunia, pemerintah dihadapkan pada tantangan menembus pasukan Jepang yang berada di sekeliling lapangan. Soekarno-Hatta akhirnya bersepakat untuk hadir, tapi siapa menteri yang berani membuka jalan untuk masuk lapangan Ikada yang sudah sesak dipenuhi rakyat dan tentara Jepang? Di situlah Ki Hadjar Dewantara bersama Mr. Achmad Subardjo (Menteri Luar Negeri) dan Mr. Iwa Kusuma Sumantri (Menteri Sosial) menyediakan diri mereka sebagai pembuka jalan dan tameng. Padahal waktu itu Ki Hadjar sudah tidak muda lagi (Rahardjo, 2009: 101-102).

sumber :
www.wikipedia.org
pedagogikritis.wordpress.com

Popular Posts

Recent Posts